Aku adalah teman terdekat Citra,
namaku Andri. Citra adalah teman terbaik ku. Dia terkenal sebagai anak yang
selalu ceria dan juga suka jailin orang. Dimarahin guru adalah hal yang biasa
baginya, maklum nilainya selalu dibawah standar. Tetapi hari ini Citra tak
seperti biasanya yang selalu jailin temannya dengan berbagai cara. Waktu itu
pelajaran Bahasa Indonesia lagi kosong, aku melihat Citra duduk sambil merenung
dibangku sekolah yang mulai agak goyang itu. Aku pun menghampirinya dan duduk
disampingnya.
“Cit, loe kenapa...kok gak jailin orang lagi?”
tanya ku sambil menatap matanya.
“Gak ada kok” jawabnya singkat.
“Ah..gak mungkin, kamu pasti ada masalah,
certain aja ke aku, siapa tau bisa bantu” kata ku sambil meyakinkan. Citra
menatapku sebentar dan kembali menunduk.
“Sebenarnya, aku mikirin perasaan Mama sama
Papa” kata Citra dengan lemah. Matanya mulai berkaca-kaca, kemudian kutepuk
pundaknya pelan dan aku bertanya lagi.
“Emang, Mama sama Papa kamu kenapa?”
“Aku gak pernah buat mereka bahagia, aku gak
pernah mikirin gimana capeknya mereka cari uang buat bayar SPP aku” Citra
menghela napas panjang, kulihat air matanya mulai jatuh dari pipinya. Ku kira
dia bersungguh-sungguh buat bahagiain orang tuanya, bukan untuk jailin aku
lagi.
“Jika kamu ingin bahagiain orang tua kamu, kamu
harus lakuin yang terbaik walaupun itu gak sebesar yang mereka harapin, belajar
yang rajin udah buat mereka senang, walaupun gak dapet rangking”
“Mulai sekarang kamu harus berusaha agar
terbiasa belajar, memang memulai lebih sulit daripada menjalani , tapi kalo
udah terbiasa semua pasti terasa mudah kok” sambungku lagi.
Citra
kemudian menghapus air matanya dan bersikap seperti biasanya agar teman-teman
yang lain tidak curiga, kalau ketahuan Citra menangis, pasti Citra diledekin
abi-abisan. Tak beberapa lama bel pulang sudah bordering, seisi kelas kami
sibuk membereskan buku dan alat tulis yang mereka bawa, karena kalau gak dibawa
pulang, pasti besok mungkin sudah hilang. Tak terkecuali Citra, hari ini
kulihat dia ingin pulang lebih awal, gak nongkrong disekolah satu jam seperti
biasanya.
“Dri, aku pulang duluan ya...” ujarnya sambil
melambaikan tangan.
“Okeh, jangan lupa besok ada ulangan” aku
mengingatkan.
“Sips deh....” jawabnya.
Sepanjang
perjalanan aku selalu kepikiran Citra, “apa besok Citra bisa melakukan
perubahan itu dalam waktu singkat ya...?” tanya ku sendiri dalam hati. Memang
sulit menghilangkan kebiasaan buruk, tetapi menjalaninya lebih mudah, jika Citra
berubah besok itu miracle.
Keesokan
paginya dan untuk pertama kalinya Citra nggak terlambat, kulihat diatas meja
bukunya berantakan, tetapi disana nggak ada Citra. “Rani, Citra kemana ya...?”
tanyaku kepada Rani, karena Rani terkenal sebagai anak yang rajin datang awal.
“Aku nggak tau, waktu aku datang Citra memang sudah nggak ada disini” jawabnya
sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Wah, berarti Citra datang lebih awal dari
Si Anak Rajin” ujarku dalam hati. Aku lalu menaruh tas dan langsung mencari Citra.
Ternyata dugaan ku benar, aku menemui Citra belajar di taman belakang yang sepi
itu.
“Eh..Citra kok tumben” aku mengagetkannya..
“Nih, lagi lanjutin belajar IPA, kamu udah
belajar?” tanyanya balik.
“Ku kira kalo pelajaran IPA aku nggak perlu
belajar, nyontek aja sekarang, kamu
nggak ikutan nyontek?”
“Kayaknya untuk kali ini nggak deh, kan elo
yang ngajarin gue belajar, kok elo yang nyontek sih?”
“Hehehe...” aku tertawa kecil.
“o ya kok kamu belajar disini, kan disini sepi?”
tanyaku sambil menggaruk-garuk kepala bingung.
“Biasa...belajar sambil refreshing otak, di kelas mah panas, disini baru adem plus pelajaran lebih mudah masuk”
jawabnya.
“O ya Dri, tips kamu emang bener, memulai
kabiasaan buruk emang lebih mudah daripada memulai kebiasaan baik. Kamu dapet
tips darimana si?” Citra melanjutkan.
“Guru SD aku yang bilang begitu, keren khan?”
“Keren banget” Citra memperlihatkan jempolnya
kepadaku.
Tet..tet..te..bel
tanda masuk kelas sudah berdering, aku kemudian mengajak Citra kembali ke kelas
karena Bu Eni, guru IPA kami selalu datang lebih awal dari guru-guru yang lain.
Setelah sampai kelas, Citra kembali melanjutkan bacaannya. Tentu saja itu
mencuri perhatian seisi kelas.
“Eh Citra, kok tumben loe belajar, kan loe
alergi baca buku?” kata seseorang dari bangku belakang. Seisi kelas tentu saja
tertawa. Melihat Citra tetap diam aku menjawab pertanyaannya.
“Loe tau nggak, alergi Citra itu udah berenti,
sekarang nularnya ke elo”. Seisi kelas bertambah ricuh tak terkendali. Tiada
dari kami yang menyadari Bu Eni sudah berada di depan kelas.
“Stop...!” teriaknya dengan sekuat tenaga.
“kalian emang benar-benar gak punya sopan santun, apa kalian tidak malu dengan
kelas lain ha...?” Bu Eni melotot. “Baik, kalau ini yang kalian mau, hari ini
kita tidak jadi ulangan, saya akan kembali keruang guru” Bu Eni mengancam.
“Horeee...nggak jadi ulangan” tetapi
murid-murid tambah suka.
“Kalian sudah buat darah saya naik, baik
sekarang kita ulangan, soalnya bertambah jadi dua puluh soal essay” Bu Eni
menggelengkan kepala. Saat Bu Eni menghadap keluar jendela, salah seorang dari
bangku belakang berkata. “Yah ibu, mendingan ibu marah aja deh, kan kalo marah
kami semua nggak jadi ulangan”.
“Siapa yang bilang begitu, sekarang maju
kedepan, kalian memang suka ngelawan dari belakang saya aja ya..., sekarang
keluarkan empat lembar robekan, saya akan membacakan soalnya. Kami semua pun
merobek empat lembar kertas, dan berniat akan nyontek masal dengan cara membuat
Bu Eni mengantuk, memang Bu Eni terkenal suka mengantuk saat memberikan ulangan
kepaa anak muridnya, sehingga dia heran walaupun anak muridnya nakal-nakal
tetapi selalu mendapat nilai seratus ulangan di pelajarannya.
Setelah
Bu Eni selesai membacakan soal, dan karena kami semua berpura-pura diam sambil
menunggu Bu Eni mengantuk. Dan benar, beberapa menit berlalu Bu Eni mengantuk.
Kami semua pun segera mengeluarkan buku catatan IPA dan menulis dengan lengkap,
padat, dan jelas. Kecuali Citra dia mencoba seberapa kemampuannya untuk
menjawab soal-soal dari Bu Eni. Bu Eni emang guru yang teliti dalam memeriksa hasil
ulangan, salah sedikit saja disalahin.
Mendengar
suara bel, Bu Eni terbangun dari tidurnya. “Kalian sudah jadi?” tanyanya.
“Sudah Bu...” jawab kami serempak. “Sekarang ketua kelas kumpulkan semua
jawaban itu” perintah Bu Eni.
Setelah
jam pelajaran IPA habis, Citra rasanya tidak sabar ingin menerima hasil
ulangannya. Padahal jika ulangan IPA, pasti hasil ulangan kami langsung
dibagikan saat keluar main. Saat bel keluar main berdering Bu Eni kembali
memanggil ketua kelas agar mengambil hasil ulangan kami diatas mejanya. Ketika Citra
menerima hasil ulangan itu, dia tidak langsung membukanya, dia berdoa agar kali
ini tidak remidi hasil pikirannya sendiri . Dan ternyata benar, nilainya hampir
sempurna yaitu Sembilan koma Sembilan. Dia langsung memberi tahu aku kalau dia
tidak remidi hasil pikirannya sendiri.
“Dri, liat dong nilai IPA ku, aku nggak remidi
loe” Citra tersenyum-senyum.
“Baguslah, berarti tips gue berhasil, tapi mana
traktirannya”
“Ya deh gue tau, kantin yuk” Citra mengajakku.
Perutku
kekenyangan, maklum Citra nyuruh aku ngambil apa aja yang aku mau, tapi aku
tentu aja nggak terlalu enak sama dia jika yang kupilih jajan yang mahal-mahal,
jadi jajan yang sedang aja udah cukup. Besok adalah hari minggu, Citra
mengajakku membelikan mamanya bunga, karena besok ulang tahun Mamanya.
“Dri, besok loe ada waktu nggak?” tanyanya.
“Ada, emangnya kenapa?”
“Bisa nggak besok anter gue beli bunga?”
“Bisa, tapi beliin bunga untuk siapa?”
“Mamaku besok ulang tahun, kita beli bunganya pake’
sepeda aja ya?, sambilan jalan-jalan, aku butuh refreshing otak nih.., kamu mau nggak?” pinta Citra dengan wajah
memohon.
“Ya deh, besok aku jemput pagi-pagi ya...”
Keesokan
paginya, sekitar jam delapan. Ternyata Citra sudah siap lebih pagi dari aku.
“Katanya mau jemput pagian, kok malah jam
seginian?”
“Sori Cit, soalnya tadi aku ketiduran, ya udah
jalan yuk nanti tambah siang”
Sebelum
kami jalan, aku memperingati Citra agar berhati-hati saat dijalanan, karena
sekarang udah masuk jam kerja. Citra mengangguk saja tak mengerti. Setelah
diperjalanan menuju penjual bunga, entah mengapa hatiku agak-agak bimbang
melihat Citra sendirian memakai sepedanya. Dan pada saat sampai dipenjual
bunga, Citra membeli bunga warna putih bukan warna merah kesukaan mamanya.
“Cit, hati-hati dijalan ya...?” aku memperingati
sekali lagi.
“kamu apa-apaan sih, emangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa kok, Cuma bilang hati-hati aja,
ya udah pulang yuk”
Dari
belakang aku selalu memperhatikan Citra, kegelisahan ku memuncak saat
diperempatan itu, hatiku tak beraturan seperti ada hal yang akan terjadi kapada
Citra. Dan dugaanku benar, baru saja Citra menyeberangi perempatan, tiba-tiba
saja ada seseorang memakai sepeda motor hamper menabrak Citra. Karena
kehilangan keseimbangan dan Citra melaju dengan cepat, Citra menabrak truk yang
sedang melaju didepannya. Tentu saja tewas seketika, pada saat kejadian
tiba-tiba saja air mataku mengalir deras tanpa disuruh. Kejadian itu membuatku
pingsan dan entah tak tahu gimana dengan Citra.
Saat
terbangun aku tak sadar kalau aku sudah berada dirumah. Aku berusaha mengingat
apa yang sedang terjadi tadi. Setelah aku ingat, aku langsung menuju rumah
Citra tanpa basa-basi. Didepan rumah Citra aku sudah melihat banyak karangan
bunga yang bertuliskan “Turut Berduka Cita”. Tentu saja aku tidak percaya,
apakah ini adalah mimpi yang ku mimpikan dalam sebuah mimpi?. Satu persatu
kulangkahkan kaki ku dan semakin terdengar jelas suara orang yang sedang
membaca yasinan.
Setelah
aku semakin dekat dengan suara itu, dan menuju ke tempat yang membuat hatiku
semakin sakit, yaitu saat melihat Citra terbungkus kain kafan putih yang terus
mengeluarkan darah dari tubuhnya. Disudut ruangan itu aku terpaku tak bisa berkata apa-apa lagi selain menangis
dan menahan sakit.
Beberapa
lama setelah orang-orang selesai mendoakan Citra, kemudian Citra akan
secepatnya dimakamkan karena melihat kondisinya sekarang. Aku tidak sadar kapan
Citra dibawa, karena saat itu pikiranku masih sangat kacau.
Keesokan
harinya, bangku disebelahku terasa sepi sekali, walaupun banyak yang berada
disekitarku. Seketika aku baru menyadari kalau kemarin ulang tahun Mamanya
Citra. Citra belum sempat memberikan bunga itu kepada Mamanya. Aku pun berlari
ranpa memperdulikan guru-guru disekitarku. Aku berlari ketempat kejadian dimana
Citra ditabrak kemarin. Aku menemukan setangkai bunga mawar putih yang masih
berada tepat dimana Citra ditabrak.
“Mengapa harus ada pertemuan dan perpisahan,
mengapa harus ada tawa dan duka, aku nyesel banget Cit udah ketemu kamu, aku
nggak nyangka kamu ninggalin aku secepat ini, aku nyesel banget udah sahabatan
sama kamu Cit!” aku tidak menghiraukan orang banyak yang melihatku, aku tidak
sadar berkata seperti itu, rasanya seperti terhipnotis.
Aku
kemudian berjalan kerumah Citra untuk memberikan bunga itu kepada Mamanya.
Kulihat Mama Citra berada didepan gerbang. Tanpa berkata-kata apa-apa lagi aku
mengulurkan tanganku memberikan bunga itu kepada Mama Citra. Mama Citra sudah
mengerti maksudku, karena dibunga yang sudah layu itu masih ada sedikit bekas
darah. Kulihat matanya sudah berkaca-kaca. Aku meninggalkannya tanpa
berpamitan. Dengan langkah tertatih-tatih aku kembali menangis dan berkata
“Bunga itu udah gue kasiin mama loe, moga aja loe akan tenang disana, Cit”.